BADROWI hendak bunuh diri. Sudah berkali-kali dicobanya.
Sekali, hendak diputusnya kontrak kehidupan pada seutas tali. Sayangnya, dahan
yang disangkanya liat tak kuasa menahan tubuhnya. Dahan itu patah menjadi dua.
Lain waktu Badrowi meminum baygon. Ketika cairan mematikan itu telah mulus
melewati kerongkongannya, istrinya memergoki. Istrinya histeris dan
berteriak-teriak macam orang gila. Sambil menangis istrinya menelepon Rumah
Sakit. Tak berapa lama, raungan ambulans membelah malam. Supir ambulans yang
gila kecepatan, berusaha mengejar nyawa Badrowi yang sudah sampai di leher.
Sayang seribu sayang, Dokter terbaik di Rumah Sakit itu
belum pulang meski malam telah larut. Dokter yang berdedikasi itu sekuat tenaga
bernegosiasi dengan Malaikat Izrail memperebutkan nyawa Badrowi. Dokter itu
berhasil. Badrowi muntah-muntah. Semua cairan mematikan itu keluar sudah.
Badrowi harus menerima kenyataan bahwa usahanya belum
membuahkan hasil. Badrowi mulai percaya nyawanya rangkap tujuh layaknya kucing.
Nahasnya, Badrowi jeri melihat darah yang mengucur. Apalagi bila darah itu
keluar dari tubuhnya. Badrowi takut. Maka, tak heran, usaha yang melibatkan
benda tajam yang nyata bisa membuat darahnya mengucur, amat sangat dihindari
oleh Badrowi.
Akhir-akhir ini Badrowi sibuk. Menonton berita kriminal di
televisi dan membaca koran menjadi jadwal rutin. Bukankah selalu ada berita
tentang kehidupan yang berakhir di tayangan televisi dan lembar koran? Badrowi
butuh inspirasi. Badrowi menghitung dalam hati berapa kali sudah dicobanya
usaha ini? Badrowi menentramkan hati dan tidak berputus asa. Setidaknya, jika
benar keajaiban nyawa rangkap tujuh itu menempel padanya, Badrowi tinggal
mencoba sekali lagi!
Tapi itu kian sulit. Sungguh! Sekarang ini, setiap orang
siaga. Istrinya, anak-anaknya, kerabat istrinya yang bernama Bi Markonah itu,
bahkan para tetangganya. Semuanya waspada. Istrinya sudah tak mengizinkannya
mengendarai sepeda motor. Kuncinya sengaja disimpan rapat-rapat dan tak seorang
pun yang mau memberitahu di mana kunci itu disimpan. Bagi Badrowi itu memang
masuk akal dan bisa dimengerti. Jalanan di Indonesia lebih kusut daripada
benang basah yang ruwet. Semahir apa pun pemakai jalan di Indonesia, sangat
mudah tertimpa kecelakaan. Kalau tidak menabrak ya ditabrak….
Yang membuat Badrowi jengkel, orang-orang tidak memberinya
kesempatan untuk menyendiri. Begitu Badrowi masuk ke kamar mandi, keluarganya
langsung heboh. Bila dalam waktu lima menit Badrowi tidak keluar dari kamar
mandi, mereka menggedor-gedor pintu. Bi Markonah mengancam akan mendobrak pintu
kalau pintunya tidak segera dibuka. Semakin lama mereka seperti mata-mata!
Cih! Tahu apa mereka? Badrowi memang ingin mati. Tapi, mati
di kamar mandi? Itu sungguh bukan pilihan bagi Badrowi. Kamar mandi itu tempat
tinggal kecoak dan Badrowi benci sekali binatang bernama kecoak. Badrowi
menyadari bahwa kini dia mempunyai dua tantangan yaitu berusaha melepaskan diri
dari intaian mata-mata, dan terus mancari cara untuk memecat nyawanya agar tak
lagi menghuni raga. Badrowi memutuskan untuk menjadi lebih kreatif. Untuk itu,
Badrowi memasukkan menu menonton sinetron! Banyak sekali tips dan intrik yang
bisa Badrowi temukan dalam tayangan sinetron.***
HARI masih pagi. Seperti biasa, rumah itu tampak sibuk.
Anaknya yang pertama berteriak-teriak mencari kaus kaki, sebentar kemudian
suaranya bungkam dan terdengar raungan GL-Pro menjauh. Terdengar suara Bi
Markonah menyuruh anak kedua dan ketiganya sarapan. Istrinya, telah rapi dengan
baju PNS, masuk ke kamar dan meletakkan sepiring nasi goreng di atas meja.
“Dokter Munawir akan datang menengok sampean, nanti jam 9,”
kata istrinya pelan.
“Cih! Psikiater sok tahu itu? Yang menyangka aku sakit
jiwa?! Yang merasa sudah mampu mengorek kebenaran dariku? Ahoi, jauh panggang
dari api. Uang saja yang dikejarnya!” umpat Badrowi dalam hati. Badrowi
melarikan pandang keluar jendela. Badrowi enggan menatap istrinya.
“Aku berangkat dulu, ya…,” pamit istrinya sambil mencium
punggung tangannya sekilas. “Jangan lupa nasi gorengnya dimakan….”
Badrowi acuh. Istrinya berlalu dan menutup pintu pelan.
Begitu Supra Fit istrinya menjauhi garasi bersama celoteh riang anak kedua dan
ketiga, Badrowi beringsut ke jendela. “Yah, batu itu masih di sana. Tangga itu
juga masih berada di tempatnya,” batin Badrowi sambil tersenyum puas. Sejauh
ini semua berjalan sesuai rencana! Badrowi akan meluncur bebas dari atas pohon
dan membenturkan diri ke atas batu. Itu rencana hebat!
Badrowi melirik arloji yang tergeletak di atas meja. Pukul
tujuh lima belas menit. Buru-buru Badrowi duduk di tepi tempat tidur. Diraihnya
sepiring nasi goreng yang sedari tadi menghuni meja. Badrowi bersikap sebiasa
mungkin. Jangan membuat curiga! Sebentar lagi, pasti Bi Minah akan membuka
pintu untuk melihat keadaannya. Tidak menghabiskan sarapan, akan menjadi
masalah besar. Nah, benar saja! Pintu kamar terkuak tanpa permisi. Wajah Bi
Markonah yang tampak selalu sedih seperti buldog itu melongok ke dalam kamar.
Sedetik. Kemudian terdengar langkahnya menjauh. Bi Markonah memang tak terlalu
suka bicara pada Badrowi. Begitu juga sebaliknya. Bi Markonah menganggap
Badrowi itu sinting.
Badrowi bersiul-siul. Terdengar pintu depan dibuka dan
ditutup kembali. Bi Markonah akan pergi berbelanja ke pasar. Biasanya Bi
Markonah pergi selama satu jam. Dan selama wanita itu pergi, Rokim, anak
tetangga sebelah yang akan memata-matainya. Badrowi menyibak korden kamar untuk
melihat keluar. Dari ambang jendela, Badrowi melihat Bi Markonah tengah
berbicara kepada Rokim. Bi Markonah menyerahkan selembar uang ke tangan Rokim
yang langsung disambut gembira. Rokim berlari riang menuju ke pintu rumah. Tuh,
kan?
Terdengar pintu dibuka dari luar.
Badrowi segera menyambutnya. “Kamu sebaiknya nonton tv saja.
Hari ini aku akan berbaring di kamar….” usul Badrowi sambil mengulurkan remote
ke tangan Rokim.
Rokim kikuk. Dengan wajah takut-takut Rokim bertanya, “Maaf,
Pak. Sebelum saya menonton televisi seperti yang Bapak suruh, bolehkah saya
masuk ke kamar Bapak terlebih dahulu?”
“Untuk apa?!” bentak Badrowi tidak suka.
“Mm… mencari mainan saya, Pak. Sepertinya tertinggal di
kamar Bapak kemarin…,” Rokim berkata pelan dan sedikit gemetar. Rokim takut
Badrowi akan menyakitinya. Bagaimanapun, Badrowi tega menyakiti dirinya
sendiri. Bukankah besar kemungkinan Badrowi juga setega itu pada orang lain?
“Baiklah. Tapi jangan lama-lama!” Badrowi bersungut-sungut.
Hatinya sungguh tak senang.
Dengan takut-takut Rokim masuk ke kamar Badrowi. Rokim
memeriksa tiap sudut kamar, di bawah tempat tidur, bawah meja dan almari, di
bawah kasur. Semuanya. Tentu saja tidak ada mainan yang dicarinya. Rokim
mencari botol, gelas kaca, pisau atau benda apa saja yang sekiranya
diselundupkan Badrowi untuk melancarkan aksinya. Rokim tidak menemukan sesuatu
yang mencurigakan. Rokim tersenyum puas sambil melangkah keluar kamar.
“Lho, mana mainanmu?” bentak Badrowi.
Rokim plintat plintut. “Oh, saya baru ingat kalau mainan
saya dipinjam teman….”
“Huh, dasar lidah manusia!” umpat Badrowi sambil masuk ke
dalam kamar dan menutup pintunya.
Badrowi mengintip melalui lubang kunci. Aman. Rokim pergi ke
kamar mandi. Hanya sebentar, setelah itu Rokim asyik menonton televisi. Badrowi
hendak menyelinap keluar lewat jendela. Tapi… oh… Badrowi merasa ingin buang
air kecil. “Ah… tak mengapa, ini kan buang air kecil yang terakhir…,” hibur
Badrowi dalam hati.
Ketika Badrowi lewat, Rokim waspada. Rokim melirik jam
dinding untuk memastikan Badrowi tidak terlalu lama di kamar mandi. Pintu kamar
mandi terbuka. Badrowi segera melangkah masuk, tak disadarinya busa sabun
tersebar di lantai. Badrowi terpeleset, tubuhnya kehilangan keseimbangan.
“Aaaaaahhh!!!!” Kepala Badrowi terbentur pinggiran bak.
Darah mengucur. Badrowi jatuh terjerembab. Tubuhnya terlentang di lantai kamar
mandi. Badrowi berusaha menggerakkan kepala, dan terlihat olehnya beberapa ekor
kecoak berlari menjauh. Lantai kamar mandi memerah darah, membawa Badrowi ke
rasa sakit yang menggila hingga gelap menghimpit!***
AWALNYA, hidup Badrowi sempurna. Istrinya cantik dan sudah
diangkat menjadi PNS. Istrinya seorang guru di sebuah SMP Negeri. Ketika SK
turun dan mengharuskan istrinya pindah ke Kota Semarang, Badrowi rela
meninggalkan pekerjaannya. Padahal saat itu posisi Badrowi di perusahaan itu
sudah terbilang lumayan. Ketika itu, anak pertama mereka baru berusia tiga tahun.
Di kota baru, Badrowi mencari pekerjaan. Namun, belum genap sebulan Badrowi
bekerja, didapatinya sang istri menangis. “Pak, janganlah bekerja dulu. Rumah
dan anak-anak telantar kalau kita berdua bekerja. Biarlah kita hidup dari
gajiku dulu,” bujuk istrinya.
Badrowi amat menyayangi istrinya. Apalagi istrinya tengah
mengandung anak kedua. Badrowi tak sanggup menolak keinginan sang istri. Maka,
Badrowi mengalah dan tinggal di rumah. Badrowi belajar memasak, mencuci,
membereskan rumah, dan mengurus anak. Ketika anak kedua lahir, Badrowi telah
mahir. Segera saja, predikat Bapak Teladan melekat padanya. Para tetangga yang
menjulukinya. Tapi Badrowi tahu pasti tabiat tetangganya. Di depan wajahnya
orang-orang itu memuji, di belakang punggungnya, mereka menyebut Badrowi banci.
Badrowi mulai terusik. Dia merasa menjadi lelaki yang tidak
sempurna. Lelaki yang bukan lelaki. Lelaki yang tak sanggup menafkahi istri.
Lelaki yang seperti benalu, menggantungkan hidup dari gaji istri. Di dalam
rumahnya tidak ada ibu rumah tangga, yang ada adalah dirinya, bapak rumah
tangga!
Hidup Badrowi mulai limbung. Dan hidupnya hancur ketika
didapatinya istrinya berubah. Cinta istrinya tak lagi utuh. Tak lama berselang,
istrinya hamil lagi. Badrowi tak punya bukti, tapi Badrowi tahu kalau itu bukan
benihnya. Akhirnya bayi mungil berwajah Tionghoa itu lahir. Sejak itulah,
Badrowi kehilangan semangat hidup dan memvonis dirinya untuk mati!***
BADROWI merasa tubuhnya seringan kapas. Sebentar kemudian, rasa
berat seperti sebongkah batu menghimpit kakinya, terus naik ke perut dan
menghimpit ulu hati. Kepalanya berdenyut hendak meledak. Napasnya panas.
Sesuatu ditangkupkan menutup hidung dan mulutnya. Sejenak rasa sejuk menerpa,
tapi panas gurun dalam sekejap datang kembali.
Badrowi ingin sekali membuka mata, tapi seolah ada baja yang
mengganjal matanya. Bulir-bulir dingin menyusup pori-pori. Seleret cahaya putih
berkelebatan.
“Dia sadar… dia sadar… lihat! Matanya sedikit terbuka…,”
seorang suster tak sadar berteriak.
“Pak… Pak… ini aku! Pak… sadar….” Itu suara istri Badrowi.
“Ini kuasa Tuhan. Beliau telah empat minggu mengalami koma,
tapi mampu bertahan…,” timpal Dokter yang tergopoh datang.
Di samping tempat tidur rumah sakit, istri Badrowi menangis
tersedu-sedu.
Badrowi mengerjap. Pelan, air matanya mengalir. Semua yang
terjadi ini, sungguh di luar rencana Badrowi. Badrowi memang ingin mati. Tapi
Badrowi sama sekali tidak ingin melakukan usaha untuk mati di kamar mandi.
Badrowi memang ingin mati. Tapi, bukannya setengah mati seperti ini!
Badrowi merasa menjadi pesakitan. Hidupnya mengambang di
antara hidup dan mati. Tubuh Badrowi lumpuh seluruhnya, hanya matanya saja yang
bisa digerakkan. Itu pun hanya membuka, menutup dan melirik. Hidup Badrowi
sepenuhnya bergantung pada peralatan medis.
“Pak… maafkan aku, Pak…,” tangis istrinya pelan.
Dulu, Badrowi hanya membisu bila istrinya berucap seperti
itu. Badrowi mengunci hati. Kata maaf di penjaranya rapat-rapat di dalam
amarah. Dijaganya jangan sampai keluar dari mulutnya. Kini Badrowi ingin
menjawab, namun lidahnya seolah terikat. Badrowi ingin mengatakan kalau hatinya
telah memaafkan! Tapi… Badrowi tak mampu bicara.
Dalam keterasingannya dari dirinya sendiri, Badrowi terpaksa
mengakui bahwa kuasa Tuhan lebih berhasil daripada rencananya. Hatinya
menyalahkannya kenapa dulu tak memaafkan saja ketika istrinya berkali-kali
minta maaf. Dulu hatinya beku ketika Istrinya berkali-kali menangis sambil
bersimpuh di kakinya. Kini, keadaan menjadi terbalik. Hati Badrowi telah lunak,
tetapi tubuh dan lidahnya yang kaku. Sekarang, jika nasi telah menjadi bubur
seperti ini, semuanya berduka. Dan hanya setan yang tertawa terpingkal-pingkal.
Menyaksikan kebodohan manusia mudah terjebak amarah dan merasa mampu
menggenggam takdir. (*)
Cerpen Suara Merdeka, Karya Kun Himalaya
Kun Himalaya adalah nama pena Tri Kundarni, ibu rumah tangga
kelahiran Semarang, 3 Juni 1982, tinggal di Wonolopo Mijen, Semarang.
Sudut pandang-orang kketiga serba tahu(fisik&batin)
Pola/ttahapan alur:pengenalan tokoh:- AWALNYA, hidup Badrowi
sempurna. Istrinya cantik dan sudah diangkat menjadi PNS. Istrinya seorang guru
di sebuah SMP Negeri. Ketika SK turun dan mengharuskan istrinya pindah ke Kota
Semarang, Badrowi rela meninggalkan pekerjaannya. Padahal saat itu posisi
Badrowi di perusahaan itu sudah terbilang lumayan. Ketika itu, anak pertama
mereka baru berusia tiga tahun. Di kota baru, Badrowi mencari pekerjaan. Namun,
belum genap sebulan Badrowi bekerja, didapatinya sang istri menangis. “Pak,
janganlah bekerja dulu. Rumah dan anak-anak telantar kalau kita berdua bekerja.
Biarlah kita hidup dari gajiku dulu,” bujuk istrinya.
Pemunculan konflik:- Badrowi amat menyayangi istrinya.
Apalagi istrinya tengah mengandung anak kedua. Badrowi tak sanggup menolak
keinginan sang istri. Maka, Badrowi mengalah dan tinggal di rumah. Badrowi
belajar memasak, mencuci, membereskan rumah, dan mengurus anak. Ketika anak
kedua lahir, Badrowi telah mahir. Segera saja, predikat Bapak Teladan melekat
padanya. Para tetangga yang menjulukinya. Tapi Badrowi tahu pasti tabiat
tetangganya. Di depan wajahnya orang-orang itu memuji, di belakang punggungnya,
mereka menyebut Badrowi banci.
Konflik menegang:- BADROWI hendak bunuh diri. Sudah
berkali-kali dicobanya. Sekali, hendak diputusnya kontrak kehidupan pada seutas
tali. Sayangnya, dahan yang disangkanya liat tak kuasa menahan tubuhnya. Dahan
itu patah menjadi dua. Lain waktu Badrowi meminum baygon. Ketika cairan
mematikan itu telah mulus melewati kerongkongannya, istrinya memergoki. Istrinya
histeris dan berteriak-teriak macam orang gila. Sambil menangis istrinya
menelepon Rumah Sakit. Tak berapa lama, raungan ambulans membelah malam. Supir
ambulans yang gila kecepatan, berusaha mengejar nyawa Badrowi yang sudah sampai
di leher.
Klimaks:- Hidup Badrowi mulai limbung. Dan hidupnya hancur
ketika didapatinya istrinya berubah. Cinta istrinya tak lagi utuh. Tak lama
berselang, istrinya hamil lagi. Badrowi tak punya bukti, tapi Badrowi tahu
kalau itu bukan benihnya. Akhirnya bayi mungil berwajah Tionghoa itu lahir.
Sejak itulah, Badrowi kehilangan semangat hidup dan memvonis dirinya untuk
mati!***
Konflik mereda: Badrowi merasa menjadi pesakitan. Hidupnya
mengambang di antara hidup dan mati. Tubuh Badrowi lumpuh seluruhnya, hanya
matanya saja yang bisa digerakkan. Itu pun hanya membuka, menutup dan melirik.
Hidup Badrowi sepenuhnya bergantung pada peralatan medis.
“Pak… maafkan aku, Pak…,” tangis istrinya pelan.
Dulu, Badrowi hanya membisu bila istrinya berucap seperti
itu. Badrowi mengunci hati. Kata maaf di penjaranya rapat-rapat di dalam
amarah. Dijaganya jangan sampai keluar dari mulutnya. Kini Badrowi ingin
menjawab, namun lidahnya seolah terikat. Badrowi ingin mengatakan kalau hatinya
telah memaafkan! Tapi… Badrowi tak mampu bicara.
Selesai: Dalam keterasingannya dari dirinya sendiri, Badrowi
terpaksa mengakui bahwa kuasa Tuhan lebih berhasil daripada rencananya. Hatinya
menyalahkannya kenapa dulu tak memaafkan saja ketika istrinya berkali-kali
minta maaf. Dulu hatinya beku ketika Istrinya berkali-kali menangis sambil
bersimpuh di kakinya. Kini, keadaan menjadi terbalik. Hati Badrowi telah lunak,
tetapi tubuh dan lidahnya yang kaku. Sekarang, jika nasi telah menjadi bubur
seperti ini, semuanya berduka. Dan hanya setan yang tertawa terpingkal-pingkal.
Menyaksikan kebodohan manusia mudah terjebak amarah dan merasa mampu
menggenggam takdir. (*)